ISLAM DAN KEMAJEMUKAN MASYARAKAT

Kerusuhan menjadi pemandangan hampir setiap minggu di berbagai mass media, cetak maupun elektronik, menggantikan berita-berita yang sebelumnya di dominasi oleh aksi-aksi demo mahasiswa. Eskalasi kekerasan serta amuk massa pun meningkat, sejak kasus Ketapang, Medan, Karawang, Kupang, dan terakhir Ambon. Masyarakat pun makin was-was terhadap kondisi keamanan yang semakin rawan dan memprihatinkan. Dan seperti biasanya, banyak pihak yang prihatin, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang prihatin terhadap kerusuhan karena umumnya bermula dari persoalan sepele yang bersifat personal, namun akhirnya menjadi perkelahian massal dan kerusuhan yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Selain jatuhnya korban jiwa, kerusuhan juga menimbulkan kerusakan tempat-tempat ibadah (Republika, 27/01/99).

Berbagai analisa penyebab kerusuhan pun dilontarkan sejumlah kalangan. Sejumlah pihak menekankan kembali pentingnya dialog antar ummat beragama, ada yang menyinggung porsi daerah yang kurang proporsional dan adil dalam pembagian pendapatan yang berasal dari daerah, ada pula yang menekan aspek persatuan dan kesatuan yang akhir-akhir ini makin luntur. Paling tidak hal itu terdapat pada sinyalemen yang dilontarkan Presiden BJ. Habibie menjawab pertanyaan wartawan, menekankan pentingnya tours menjaga dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, antara lain dengan memberi informasi yang tepat dan menjaga diri untuk tidak mudah diadu domba dengan isu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). “ Caranya dengan memberi informasi yang tepat. Dan jangan mau diadu domba berdasarkan SARA.” (Kompas, 23/01/99).

Lalu, apa sebenarnya biang amuk massa dan kerusuhan yang berujung pada masalah SARA, terutama pertentangan antar umat Islam dengan pengikut agama lain. Dan bagaimana solusi yang harus diambil oleh kaum muslimin dalam perkara ini ?

Fakta Masyarakat

Lazimnya sebuah masyarakat, di dalamnya pasti hidup secara bersama-sama beraneka macam jenis kelompok masyarakat. Ada laki-laki, ada pula perempuan. Anak-anak, sampai orang dewasa atau yang tua renta. Ada yang berasal dari suku-suku lain. Begitu pula agama/keyakinan lain, golongan/kelompok politik maupun organisasi sosial yang berbeda-beda. Dan perbedaan-perbedaan lainnya yang amat banyak jenisnya. Disamping adanya kemajemukkan anggota masyarakat, di dalam masyarakat pun terdapat sistem yang mengatur interaksi antar masyarakat, antar masyarakat dengan penguasa/pemerintah, antar masyarakat di suatu negeri dengan masyarakat di negeri lain. Malah di tengah-tengah masyarakat pun dijumpai unsur-unsur emosional yang menjadi ciri khas sebuah masyarakat, seperti masyarakat Kapitalis dengan individualisnya, kebebasannya, transparansnya dan lain-lain. Berbeda dengan masyarakat Sosialis/Komunis atau masyarakat Islam. Kenyataan ini tidak dapat terbantahkan, sehingga kemajemukkan masyarakat adalah bagian dari eksistensi kehidupan masyarakat itu sendiri, bahkan bagian dari penciptaan manusia (QS. 49:13). Bahkan Islam tidak mengenal masyarakat yang 100% anggota-anggota masyarakatnya menganut agama Islam karena hal itu tidak sesuai dengan fakta dan tidak sesuai dengan firman Allah SWT :

وَ لَوْ شَآ ءَ رَ بُّكَ لاََ مَنَ مَنْ فىِالاَْرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًا اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ {}

“ Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang (ada) di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman (kepada Islam) semuanya ? “ (QS. Yunus : 99).

Bahkan sejak masa Rasulullah SAW yang disebut dengan masyarakat Islam adalah masyarakat yang di dalamnya juga hidup berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama/keyakinan, golongan, suku bangsa/ras dan perbedaan-perbedaan lainnya. Di kota Madinah hidup juga orang-orang Yahudi dari suku/qabilah Qainuqa, Nadhir dan Quraidhah. Belum lagi qabilah Aus dan Khadzraj, serta kaum Muhajirin dari Makkah yang berasal dari berbagai anak suku Quraisy. Juga tatkala peradaban Islam merambah daerah-daerah Afrika Utara, Andalusia (Portugis, Spanyol dan sebagian Perancis), Balkan, Asia Kecil, Asia Tengah, hingga ke wilayah India, Pakistan, Bangladesh, Burma, dan perbatasan dengan China (Xinjiang). Daerah-daerah tersebut kaya dengan ratusan suku bangsa maupun ras, juga berbagai keyakinan/agama (Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, Zoroaster, dll). Namun kemajemukan mereka mereka dibiarkan hidup sebagai sebuah fakta.

Begitu pula halnya dengan masyarakat yang lain, kemajemukan adalah perkara yang harus diterima, dihadapi, dipahami, diatur secara adil mekanismenya dan interaksinya agar menjadi dinamika masyarakat yang positif, bukan potensi negatif melahirkan anarkisme dan Chaos. Jadi, baik masyarakat Kapitalis (seperti di negara-negara Barat), masyarakat Sosialis/Komunis (seperti di negara-negara blok Timur), maupun masyarakat Indonesia (saat ini) atau megeri-negeri lainnya, menghadapi kenyataan yang sama, yaitu keberagaman atau kemajemukan masyarakat.

Dengan demikian kenyataan tentang masyarakat itu dimanapun sama saja, yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya adalah jenis sistem mekanisme yang mengatur interaksi anggota-anggota masyarakat. Dan yang paling penting, sistem mekanisme itu haruslah benar dan adil, sehingga dijaga dan dipelihara dengan tegas oleh negara. Maka, tidaklah mengherankan jika sebuah negeri atau sebuah peradaban akan ditimpa malapetaka kehancuran masyarakat, hanya karena tidak memiliki sistem yang shahih yang dapat mengatur interaksi anggota-anggota masyarakatnya.

Ironisnya, penguasa di negeri ini justru berusaha menjauhkan masyarakat dari kenyataan kemajemukan masyarakat serta keharusan adanya sistem yang mengatur mereka, dengan dimunculkannya istilah SARA dengan tujuan terciptanya toleransi, kerjasama maupun kerukunan hidup beragama maupun bermasyarakat. Padahal, masyarakat sendiri buta sama sekali tentang hak-hak dan kewajiban mereka satu dengan yang lain, malah tidak memahami bagaimana negara bersikap terhadap perselisihan yang berujung pada masalah SARA. Pada akhirnya kerukunan serta toleransi yang ada ditengah-tengah masyarakat hanyalah kerukunan serta toleransi semu, disebabkan ketakutan dituduh menyulut isu SARA. Tatkala sendi-sendi masyarakat hancur, rasa takut masyarakat hilang, potensi konflik pun berubah menjadi amuk massa dan kerusuhan yang tak terhindarkan.

Interaksi Muslim Dan Non Muslim

Dalam Islam telah diatur hak-hak dan kewajiban antar sesama muslim, begitu pula hak-hak dan kewajiban antara muslim dengan non muslim. Khusus perlakuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban non muslim yang hidup di bawah sistem yang menerapkan secara penuh aturan Islam dikenal istilah ‘aqd dzimmah. Yakni satu bentuk perjanjian jaminan keamanan atas keyakinan/agama, jiwa/nyawa, harta, dan lain-lain terhadap kelompok masyarakat non muslim di bawah perlindungan Islam dan di tengah-tengah masyarakat Islam, yang dijamin oleh Allah, Rasul-Nya dan jamaah kaum muslimin. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan Ahlu Dzimmah.

Landasan hubungan dengan orang-orang non muslim ialah firman Allah dalam surat Al-Mumtahanah, ayat 8-9.

Jadi, setiap muslim dituntut untuk memperlakukan siapapun dengan penuh keadilan meski mereka tidak mengakui agama Islam, asalkan mereka tidak menghalangi penyebaran Islam, tidak memerangi para penyerunya, serta tidak menindas para pemeluknya.

Adapun hak-hak dan kewajiban Ahlul Dzimmah sebagai sesama warga negara dalam masyarakat Islam itu antara lain mencakup :

1. Hak Perlindungan dari Serangan Musuh dan Kedzaliman di Dalam Negeri.

Hak ini menyamakan orang-orang non muslim dengan kaum muslimin lainnya, bahkan mengganggu mereka disamakan dengan mengganggu Rasul dan mengganggu Allah, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

“ Barangsiapa mengganggu seorang Dzimmi, sungguh ia telah menggangguku, dan barangsiapa menggangguku sungguh ia telah mengganggu Allah. “ (HR. Tabhrani dengan isnad hasan).

2. Perlindungan atas Jiwa dan Badan.

Darah dan jiwa ahlul dzimmah diharamkan atas muslimin. Rasulullah SAW bersabda :

“ Barangsiapa membunuh seorang Mu’ahad (yang terikat perjanjian keselamatan dengan kaum muslimin) tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan harumnya surga dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun. “ (HR. Bukhari dan Ahmad).

3. Perlindungan atas Harta Benda.

Perhatian dan pemeliharaan Islam terhadap kesucian dan kepemilikan harta ahlul dzimmah mencapai tingkat yang sempurna sampai-sampai Islam menghormati apa saja yang dianggap harta menurut agama mereka, meski hal itu tidak dianggap sesuatu yang berharga dalam pandangan Islam. Seperti pemilikan mereka atas khamar, salib, daging babi dan lain-lain, selama tidak ditampakkan secara terang-terangan di tengah-tengah komunitas muslim. Merusak, atau bahkan mencurinya, sama sekali di larang atas kaum muslimin.

Rasulullah SAW pernah mengadakan perjanjian dengan orang-orang Nasrani Najran : “… bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan jaminan Muhammad, Nabi dan Rasul-Nya atas harta benda mereka, tempat peribadatan mereka, serta apapun yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik yang sedikit maupun banyak…” (Al-Kharaj. Kar. Abu Yusuf, hal. 72).

4. Perlindungan Atas Kehormatan.

Islam juga memberikan perlindungan atas kehormatan dan harga diri seorang dzimmi seperti halnya atas kaum muslimin. Siapapun tidak diperbolehkan mencaci mai, melontarkan tuduhan palsu, menjelek-jelekkan disertai kebohongan, menggunjingkannya dengan sesuatu yang tak disukainya, atau bentuk pelanggaran kehormatan lainnya terhadap ahlul dzimmah.

5. Jaminan Hari Tua dan Kemiskinan.

Islam memberikan jaminan kehidupan yang layak atas seluruh warga negara, termasuk dalam hal ini ahlul dzimmah. Ini adalah kewajiban penguasa/pemerintah muslim yang menjalankan sistem hukum Islam. Sebab mereka (penguasa) itu layaknya seperti seorang penggembala. Sabda Rasulullah SAW :

“ Seorang Imam (Kepala Negara) itu adalah (laksana) seorang penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas (pengurusan dan pengaturan masalah) rakyatnya”. (HR. Muttafaqqun ‘alaihi).

Pada saat amirul mukminin Umar bin Khattab melewati desa Jabbiyah, dekat Damaskus (syiria), beliau melihat beberapa orang Nasrani penderita kusta. Maka beliau memerintahkan agar mereka diberi bagian dari uang sedekah dan ditetapkan atas mereka tunjangan secara periodik untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya secara teratur. (Futuh al Buldan, kar. Al Baladzuri, hal. 177).

6. Kebebasan Beragama.

Setiap non muslim dalam masyarakat Islam memiliki kebebasan untuk beragama dan menjalankan agamanya secara maksimal. Tidak boleh dipaksa untuk berpindah kepada agama Islam. Firman Allah SWT :

“ Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman (kepada Islam) semuanya ?”. (QS. Yunus : 99).

Satu-satunya yang diminta Islam atas kalangan non muslim adalah menjaga perasaan kaum muslimin dan menjaga kesucian agama Islam dengan tidak menonjolkan upacara keagamaan mereka, memamerkan salib-salib mereka secara demonstratif di kota-kota kaum muslimin.

Toleransi yang hebat ini diakui oleh ilmuwan besar Perancis Gustave Le Bon, yang berkata :

“ Telah kita lihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang disebutkan sebelum ini, bahwasanya toleransi yang ditunjukkan Muhammad terhadap kaum Yahudi dan Nasrani sungguh amat agung. Tidak seorangpun diantara pendiri agama-agama yang datang sebelumnya seperti agama Yahudi dan Nasrani pada khususnya, pernah melakukan hal seperti itu. Dan kita akan melihat pula bagaimana para Khalifah (Kepala Negara Muslim pengganti Nabi) telah mengikuti jejaknya”.

7. Kebebasan Bekerja dan Berusaha.

Orang-orang non muslim memiliki kebebasan untuk bekerja dan melakukan usaha, memilih pekerjaan apapun yang mereka inginkan atau me-menej aktifitas ekonomi apa saja. Pengecualiannya hanyalah aktifitas yang memang diharamkan menurut Islam, seperti transaksi riba, menimbun, penipuan, KKN, Dumping, dan lain-lain. Serta jual beli barang yang diharamkan ditengah-tengah kaum muslimin, seperti menjual daging babi secara terbuka di pasar umum, khamar di kedai-kedai yang dikunjungi oleh masyarakat umum, dan sebagainya. Merekapun dapat menjadi pegawai negeri, dalam jabatan-jabatan yang berkait dengan sains, teknologi, manajemen dan sejenisnya.

Adapun kewajiban ahlul dzimmah yang harus dijalankan antara lain :

1. Membayar Jizyah.

Jizyah, Sejenis dengan pajak kepala berupa sejumlah kecil uang yang dikenakan atas kaum kali-laki baligh yang berkecukupan, sesuai dengan besarnya nilai kekayaan mereka masing-masing. Sedangkan fakir miskin dari kalangan mereka dibebaskan sama sekali. Umar bin Khattab telah menetapkan bahwa jizyah atas ahlul dzimmah yang kaya adalah sebesar 48 Dirham, yang menengah 24 Dirham, sedangkan yang paling bawah 12 Dirham setiap tahun. Jizyah, tidak diwajibkan atas ahlul dzimmah laki-laki yang tak mampu, tua renta, para rahib atau pendeta yang bekerja di biara/gereja, memiliki jasmani cacat, tidak terjaminnya keamanan dan keselamatan mereka.

2. Terikat dengan Sistem Islam.

Terikat dengan Sistem Islam dan perundang-undangan umum masyarakat dalam seluruh perkara muamalah, kecuali dalam perkara Ubudiyah dan Ahwal Syakhsiyah (hukum keluarga seperti perkawinan, perceraian, kematian, pembagian pusaka dan sejenisnya) dijalankan sesuai agama/keyakinan mereka.

Khatimah

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka kalangan kaum muslimin muncul kaidah hukum yang berlaku atas seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim, yaitu :

“ Atas mereka (ahlul dzimmah) hak-hak mereka sama seperti hak-hak kita (kaum muslimin) miliki, begitu pula kewajiban-kewajiban mereka sama seperti kewajiban yang kita miliki “.

Hendaknya kita dapat membandingkan bagaimana sikap kaum lain atas kaum muslimin sejak peristiwa pengusiran orang Eropa atas kaum muslimin dari Andalusia, disusul perlakuan atas kaum muslimin dalam perang salib, hingga era modern di negara-negara penyeru demokrasi dan kebebasan atas kaum muslimin minoritas di negara-negara mereka yang modern. Belum lagi sikap Rusia, China, Serbia, Ethiopia, India, Burma, Philipina atas kaum muslimin yang amat menyakitkan. Begitu pula kerusuhan akhir-akhir ini yang marak dinegeri kita.

Oleh karena itu, selama sebuah masyarakat tidak memiliki sistem perundang-undangan yang mengatur secara adil dan benar interaksi dan mekanisme antara satu anggota masyarakat dengan masyarakat lainnya, terutama yang berbeda agama/keyakinan, berlainan ras, golongan dan suku, maka selama itu pula potensi konflik akam makin bertumpuk, menunggu kondisi yang matang untuk meledak. Dengan mengerti dan memahami gambaran Islam dan perlakuan Islam terhadap orang yang berkeyakinan lain ini, maka paling tidak pandangan negatif dan keliru yang selama ini dipaksakan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan negara-negara Kapitalis Kafir yang dipimpin AS atas ajaran Islam dan kaum muslimin dapat dihilangkan.

Tinggalkan komentar